Rabu, 04 Juni 2008

Untuk Kau

Aku hanya berdiri menepi di jalan ini
menguak misteri tersimpang
Pernah dulu, aku berkata :
di langit sana ada hati yang menyepi
beku dari es yang mengembun saat pagi

Angin menghilir dari selatan
membawa senyum kembang matahari
Aku lalu terhempas, jatuh ke peluk bidadari

Dingin merengkuh segenap jiwa
di sepi terdalam
Aku yang terbatas berkata :

Engkau bagaikan manik-manik berkilauan
di dasar danau bening

Suci jiwaMu
anggun rupaMu.....

Engku meruak di jiwa
dalam rasa

UntukMu tak tersentuh,
tak dapat dilukis perupa.............

Optimis

Dulu, ketika di kampus, saya kadang memikirkan. Kok bisa ya, saya anak desa ini, yang di masa-masa kecilnya waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membantu orang tua di sawah dan di ladang, tiba-tiba bisa kuliah di perguruan tinggi negeri. Terlebih, dalam pikiran masyarakat tanah bugis, universitas tersebut termasuk ternama di di jazirah sulawesi.

Saat, mulai mengenal tetek bengek kampus, kemudian mulai aktif kuliah, bergelut di lembaga kemahasiswaan, bergaul di komunitas-komunitas pergerakan kampus, telah bergumul dengan pemikiran para pakar sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama, dari fase antroposentrisme, renaissance, hingga postmodern. Dari Socrates, Manifesto Komunis Karl Marx, Paulo Freire, tentang Teologi pembebasan dunia pendidikan, Ali Saryati, Averroes atau Ibnu Rusyd, Syaikh Muhammad At-tamimi dalam Kitab Tauhid, dan banyak lagi.(Cieeeee, mahasiswa nu lawan, hehehehe). Pikiran tentang, kok bisa ya, saya kuliah di universitas negeri tetap saja membelit dalam benak.

Bahkan, hingga beberapa saat tak lagi aktif kampus, pertanyaan sama masih terbesit dalam hati kecilku. Kok, saya yang mahasiswa kacangan dari kampus ini, tiba-tiba bisa bergaul dengan j’’’’’’j’’’’’kelas senior di Makassar. Dalam setiap kali saya memasuki lingkungan baru dalam pergaulan sosial, selalu saja muncul pertanyaan-pertanyaan sama.

Latar kehidupan sebagai anak petani, lahir di tengah keluarga sederhana, acapkali membuat diri saya minder pada lingkungan sosial dimana saya bergaul. Termasuk saat kuliah dulu. Saya di mata teman-teman, adalah sosok pemalu, dan kurang percaya diri.

Namun, setelah menyaksikan seabrek kenyataan hidup, kini pada akhirnya rasa itu pupus. Saya teringat seorang mantan presiden India, Abdul Kamal, saya teringat sosok salah satu presiden di Indonesia yang pernah berkuasa selama 25 tahun, Soeharto. Saya teringat banyak pemikir-pemikir dunia, saya teringat banyak tokoh-tokoh humanis dunia, saya teringat teringat kisah-kisah para nabi yang kerap diceritakan ibu/bapak guruku sewaktu SMU dulu, saya teringat sosok Nabi Muhammad, dan sebagainya. Mereka lahir dari desa-desa, pernah merasakan hidup di latar panggung kehidupan para pengembala, petani, peladang dan sebagainya.

Sebagian besar diantara tokoh-tokoh besar itu tak sekadar jadi penyaksi, tapi pelakon, bahkan menjadi bagian dari perhelatan hidup yang keras. Mereka pernah jadi pengembala, jadi penunggu musim yang setia, menanam bibit, menanti kapan bulir padi menguning, menanti kapan musim panen tiba, setelah itu memikirkan lagi, kapan musim bercocok tanam tiba.

Saya teringat perkataan Abdul Kamal, tak ada gunanya berpikir pesimis, jadilah pemimpi, yang terus memimpikan apa yang diinginkan, niscaya apa yang kau mimpikan akan terbawa dalam pikiranmu, dan apa yang kau pikirkan akan kau aplikasikan dalam tindakan. Lewat karyanya, “akar saya dari desa, Soeharto seolah menegaskan pada setiap anak bangsa, bahwa lahir dari latar kehidupan pedesaan adalah kebanggaan yang besar, karena dengan latar itu, hidup akan lebih berdinamika. Jika dikenang kehidupan masa kecil di pedesaan memang selalu menarik, indah, romantik, dan natural.

Betapa senangnya mengingat masa-masa kecil di pedesaan, saat musim mainan terus bergulir. Layangan, gasing, dan sebagainya. Terlebih saat musim buah tiba. Musim durian. Langsat, rambutan, dan seterusnya. Ataukah mengenang rutinitas sore, mandi di sungai. Fase-fase yang tentunya, kini sangat susah untuk ditemui di belantara gedung-gedung tinggi di kota.

Adalah wajar, jika pada beberapa tahun silam, selama jadi presiden, Soeharto kerap berkata, dirinya berakar dari desa. Di zaman edan kini, memang desa diibaratkan sebagai benteng pertahanan terakhir dari gerusan budaya-budaya neokapitalis. Ia adalah akar, dimana tertancap kearifan-kearifan lokal, yang mengajari siapapun pernah ada di dalamnya, agar senantiasa bersahaja- meski pada akhirnya begitu banyak orang dari desa, termasuk Soeharto, jadi lalim dan tidak bersahaja.

Nabi Muhammad Saw, selalu dikenal sebagai sosok yang tawwaddu’, dan mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa jadi orang-orang yang bersabar, teguh pada ajaran Ilahia dan berjalan di atas kemuliaannya. Berabad-abad yang lalu, lahir pemikir-pemikir dari pinggiran yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan sosial yang hingga kini masih disuguhkan di bangku-bangku kuliah. Karl Marx misalnya. Di belahan bumi Eropa, karya Mouzart masih begitu dikenal dalam dunia seni.

***
Sekarang, saya lebih banyak berpikir sebagai orang beruntung. Dibanding manusia-manusia terpinggirkan di kolong jembatan sana. Begitu banyak yang tidak beruntung, hidup dalam kemalangan, setiap hari mereka bergulat memperjuangkan hidupnya, haknya untuk sekadar tidur nyenyak. Mengapa kita mesti pesimis, sementara masih banyak orang yang begitu optimis akan mampu mendapatkan haknya untuk tidur di tepi-tepi jalan. Bersyukurlah saya yang masih diberi ruang untuk dapat tidur nyenyak di kota ini, dan masih makan tiga kali sehari.

ASTER

Di tengah bingar dentuman musik, saat jarum jam mendekati pukul 01.00 dini hari, seorang perempuan tiba-tiba mendekat ke meja kami. Ia merangut, memintaku menemaninya bergoyang. “Mas, temanin aku dong. Yuk!”
Ups, aku dan teman saling saling berpandangan, sedikit heran. “Bidadari darimanakah kiranya yang kesasar ke meja para kuli tinta ini,” celetuk salah seorang teman, sedikit keder melihat keanggunan perempuan itu.
Aroma Tequila menebar dari mulutnya, menusuk hidung. Rasa-rasanya, setelah mencium baunya, wajahku bak ditumpahi segelas minuman khas dari Meksiko itu.
Ia lantas menarik tanganku-sedikit memaksa. “Sudahlah, ikuti saja. Kasihan gadis secantik ini ditolak keinginannya,” temanku angkat bicara lagi. Aku tak dapat menampik. “Yup, boleh,” sahutku pada perempuan itu. Dari wajahnya, bisa ditelisik, usianya mungkin baru berkisar 18 atau 19 tahun.
Aku digiringnya ke depan panggung, tepat berhadapan dengan DJ. Perlahan, ia lalu berbalik membelakangiku. Posisinya seolah terdekap olehku. Ini kesempatan buatku mencuri pandang, ‘menelisik’ sekujur tubuhnya.
Untuk konteks Indonesia, ia terbilang tinggi. Nyaris menyamaiku, hanya terpaut 2 senti. Jika diukur, mungkin mencapai 164 sentimeter. Bodinya? Pas seperti apa yang dianalogikan oleh orang selama ini. Sungguh berlekuk seperti gitar Spanyol. Dengan paduan Jeans Leecooper standar dan oblong berwarna putih ketat di tubuhnya, ia kelihatan sangat cantik dan seksi.
------------------
“I want to break free”. Reff lagu rilisan dewa itu seperti menyihir dan menggerayangi seluruh tubuhnya. Ia menggelinjang namun slomotion, lalu meliuk naik turun.
“Oww…lelaki siapa yang tak bergairah melihat gerakannya ini,” bisikku pelan. Aku lalu mengumpat dalam hati, “mengapa aku harus dipertemukan dengan gadis titisan bidadari ini, dalam ruang yang gemerlap ini. Mengapa tidak di kampus. Saat duduk-duduk di kelas, misalnya. Atau, pokoknya selain di ruang yang selalu kubenci saat mahasiswa ini,” pikirku.
“Ah, seandai kedatanganku ke tempat ini hanya sekadar untuk bersenang-senang, maka segera akan kuhanyutkan tubuhku ini dalam irama liukan tubuhnya,” pikirku lagi.
Sayang, kehadiranku bukan bertujuan untuk itu. Mengingat profesi, aku sedikit “jaim”. Aku hanya bergoyang sedikit, tapi dalam ritme yang sangat kecil. Sejengkal pun, aku tak bergeser dari posisi dimana aku berdiri.
Sembari memerhatikan gerakan-gerakan perempuan ini. Sesekali kulemparkan pandanganku ke arah kedua rekanku. Mereka duduk menepi mengelilingi meja di sebelah kanan ruangan, tempat dimana kami duduk bersama setiap masuk ke club ini.
Dalam kerlip lampu lighting kutangkap senyum mereka, sedikit mengolok. Nampaknya mereka tahu, kalau baru kali pertama aku menghadapi situasi seperti ini. Memang, aku kelihatan sangat gugup.
”Oh, seandainya saja mereka memerhatikan getaran lututku, atau merasakan sedikit keringat dingin yang bercucur di tubuhku. Maka bisa dibayangkan, kisah ini pasti akan terus menjadi pemicu gelak tawa di kantor nanti,” bisikku dalam hati.
---------------------------
Aku ditemani oleh mereka melakukan penelusuran mengenai aktivitas di club-club malam (tugas redaksi sebuah majalah). Kami disodori tugas menyorot mahasiswi penggiat clubing atau biasa diistilahkan “mahasiswi ajep-ajep”.
Perjalan liputan sudah memakan waktu tiga hari empat malam. Kami menelusuri jejak mahasiswi ajep-ajep dengan menggunakan beberapa jalur. Termasuk melalui pendekatan bisik-bisik di kampus.
Bila siang, kami bergaul ke kampus. Namun, ketika malam merambat, kami akan menyambangi satu persatu seluruh club malam yang ada dalam kota. Tak satupun tempat hiburan malam yang tersisa, sebab, kami memang mengandalkan data dari hasil tersebut.
Di malam keempat, di sebuah club terkenal kota ini, kami bertemu dengan perempuan bernama Aster. Ia dalam keadaan mabuk, lalu menghampiri dan mengajakku bergoyang ria. Setelah melewati satu lagu, ketika itu, ia pergi begitu saja.
------------------------------------
Dua hari setelah malam itu, siang, mendekati pukul 12.00, seorang perempuan menyapaku di koridor sebuah fakultas. Aku berpapasan di sudut kelas. “Eh, kak. Kamu anak sospol juga, ya,” sergahnya gugup. Wajahnya yang putih mulus, berubah merona. Kedua pipinya seperti dibaluri sedo dalam sekejap.
Tanpa aba-aba, hatiku kemudian berpuisi. “Oh, Tuhan…, seharum itukah peluh yang kutinggalkan, hingga bidadari ini mengetahui kemana kujejakkan langkah mencarinya”.
Senyumku lalu menguncup. Dalam benakku terbesit kata; sedari malam yang lalu, aku sudah merasa tak asing dengan wajahmu. Ketika itu aku berpikir, sepertinya, perempuan ini pernah kulihat di fakultas tempatku kuliah.
Setelah malam itu, aku mencoba mengikuti jejakmu di kampus, tapi tak kunjung kutemui. Sepenggal kisahmu lalu kudengar dari salah seorang yuniorku di jurusan. Katanya, kaulah bunga di angkatan teman sekuliahmu.
Katanya lagi, sejak dirimu baru menginjakkan kakimu di kampus ini, begitu banyak senior yang bertekuk lutut dan merajuk ingin kaujadikan pacarmu. Tapi semuanya kau tampik. Konon, setiap kali kau menolak mereka, kau selalu berkata, “Cintaku untuk semua lelaki”.
“Eh, kak. Aku mau makan siang,” ia membuyarkan konsentrasiku. Kemudian kudengar dari bibirnya yang ranum, bersambung lembut seuntai kalimat yang hampir sama diucapkan pada malam itu. “Temanin aku ke kantin dong, yuk!” Jari telunjukku digenggam, lalu digandengnya seolah aku ini adalah pangerannya.

Warung Kopi, Cita Rasa dan Obrolan

Zaman boleh berubah, tapi aroma kopi tak pernah lekang. Warung kopi yang tumbuh subur tidak sekadar jadi tempat obrolan. Lebih dari itu, warkop merupakan rumah inspirasi, karena selain melepas penat, juga ide-ide segar bisa lahir di tempat ini. Warkop juga menjadi bursa informasi, karena sambil menyerumput kenikmatan kopi, berbagai informasi mulai dari kabar burung, analisa politik, sampai rahasia orang bisa dibincangkan.

Istilah warung kopi (warkop) bukannya baru didengar. Semenjak dahulu, tempat kongkow yang satu ini telah populer. Selain untuk menikmati kopi, dulu, menjadi tempat obrolan yang asyik. Apalagi pada malam hari. Maka tak heran jika muncul istilah; tak lengkap rasanya, secangkir kopi tanpa ditemani pisang goreng dan lantunan irama musik dangdut.


Entah, di zaman sekarang. Istilah apalagi yang muncul untuk mengungkapkan kenyamanan kongkow di warkop. Pastinya, saat ini, lantunan lagu dan menu yang menyuasanainya tak melulu dangdutan dan pisang goreng. Bahkan, seiring dengan pikuknya kehidupan modern di kota, kesan itu perlahan berubah.


Selain menawarkan candu kopi, sejumlah pemilik warkop di Kota Makassar juga menawarkan suasana. Agar sejalan dengan karakteristik masyarakat kota yang modern, dalam hal ini, konsep warkop didesain lebih elegan dan modern pula.


Malahan, ada yang menggeser warkop ke dalam konsep kafe. Ini lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan di kalangan menengah ke atas saja. Bahkan ada yang lebih diarahkan untuk kalangan eksekutif. Sangat ekslusif, baik dari tawaran tempat maupun standar pelayanannya. Boleh dibilang, konsep ini lebih berstandar gaya hidup. Karena harganya cukup ’mengigit’.


Namun demikian, apapun segmentasinya, konsep warkop tak pernah jauh dari cita rasa dan obrolan. Di Kota Makassar sendiri, setiap warkop memiliki daya tarik pada dua sisi ini. Menawarkan cita rasa, atau suasana.