Di tengah bingar dentuman musik, saat jarum jam mendekati pukul 01.00 dini hari, seorang perempuan tiba-tiba mendekat ke meja kami. Ia merangut, memintaku menemaninya bergoyang. “Mas, temanin aku dong. Yuk!”
Ups, aku dan teman saling saling berpandangan, sedikit heran. “Bidadari darimanakah kiranya yang kesasar ke meja para kuli tinta ini,” celetuk salah seorang teman, sedikit keder melihat keanggunan perempuan itu.
Aroma Tequila menebar dari mulutnya, menusuk hidung. Rasa-rasanya, setelah mencium baunya, wajahku bak ditumpahi segelas minuman khas dari Meksiko itu.
Ia lantas menarik tanganku-sedikit memaksa. “Sudahlah, ikuti saja. Kasihan gadis secantik ini ditolak keinginannya,” temanku angkat bicara lagi. Aku tak dapat menampik. “Yup, boleh,” sahutku pada perempuan itu. Dari wajahnya, bisa ditelisik, usianya mungkin baru berkisar 18 atau 19 tahun.
Aku digiringnya ke depan panggung, tepat berhadapan dengan DJ. Perlahan, ia lalu berbalik membelakangiku. Posisinya seolah terdekap olehku. Ini kesempatan buatku mencuri pandang, ‘menelisik’ sekujur tubuhnya.
Untuk konteks Indonesia, ia terbilang tinggi. Nyaris menyamaiku, hanya terpaut 2 senti. Jika diukur, mungkin mencapai 164 sentimeter. Bodinya? Pas seperti apa yang dianalogikan oleh orang selama ini. Sungguh berlekuk seperti gitar Spanyol. Dengan paduan Jeans Leecooper standar dan oblong berwarna putih ketat di tubuhnya, ia kelihatan sangat cantik dan seksi.
------------------
“I want to break free”. Reff lagu rilisan dewa itu seperti menyihir dan menggerayangi seluruh tubuhnya. Ia menggelinjang namun slomotion, lalu meliuk naik turun.
“Oww…lelaki siapa yang tak bergairah melihat gerakannya ini,” bisikku pelan. Aku lalu mengumpat dalam hati, “mengapa aku harus dipertemukan dengan gadis titisan bidadari ini, dalam ruang yang gemerlap ini. Mengapa tidak di kampus. Saat duduk-duduk di kelas, misalnya. Atau, pokoknya selain di ruang yang selalu kubenci saat mahasiswa ini,” pikirku.
“Ah, seandai kedatanganku ke tempat ini hanya sekadar untuk bersenang-senang, maka segera akan kuhanyutkan tubuhku ini dalam irama liukan tubuhnya,” pikirku lagi.
Sayang, kehadiranku bukan bertujuan untuk itu. Mengingat profesi, aku sedikit “jaim”. Aku hanya bergoyang sedikit, tapi dalam ritme yang sangat kecil. Sejengkal pun, aku tak bergeser dari posisi dimana aku berdiri.
Sembari memerhatikan gerakan-gerakan perempuan ini. Sesekali kulemparkan pandanganku ke arah kedua rekanku. Mereka duduk menepi mengelilingi meja di sebelah kanan ruangan, tempat dimana kami duduk bersama setiap masuk ke club ini.
Dalam kerlip lampu lighting kutangkap senyum mereka, sedikit mengolok. Nampaknya mereka tahu, kalau baru kali pertama aku menghadapi situasi seperti ini. Memang, aku kelihatan sangat gugup.
”Oh, seandainya saja mereka memerhatikan getaran lututku, atau merasakan sedikit keringat dingin yang bercucur di tubuhku. Maka bisa dibayangkan, kisah ini pasti akan terus menjadi pemicu gelak tawa di kantor nanti,” bisikku dalam hati.
---------------------------
Aku ditemani oleh mereka melakukan penelusuran mengenai aktivitas di club-club malam (tugas redaksi sebuah majalah). Kami disodori tugas menyorot mahasiswi penggiat clubing atau biasa diistilahkan “mahasiswi ajep-ajep”.
Perjalan liputan sudah memakan waktu tiga hari empat malam. Kami menelusuri jejak mahasiswi ajep-ajep dengan menggunakan beberapa jalur. Termasuk melalui pendekatan bisik-bisik di kampus.
Bila siang, kami bergaul ke kampus. Namun, ketika malam merambat, kami akan menyambangi satu persatu seluruh club malam yang ada dalam kota. Tak satupun tempat hiburan malam yang tersisa, sebab, kami memang mengandalkan data dari hasil tersebut.
Di malam keempat, di sebuah club terkenal kota ini, kami bertemu dengan perempuan bernama Aster. Ia dalam keadaan mabuk, lalu menghampiri dan mengajakku bergoyang ria. Setelah melewati satu lagu, ketika itu, ia pergi begitu saja.
------------------------------------
Dua hari setelah malam itu, siang, mendekati pukul 12.00, seorang perempuan menyapaku di koridor sebuah fakultas. Aku berpapasan di sudut kelas. “Eh, kak. Kamu anak sospol juga, ya,” sergahnya gugup. Wajahnya yang putih mulus, berubah merona. Kedua pipinya seperti dibaluri sedo dalam sekejap.
Tanpa aba-aba, hatiku kemudian berpuisi. “Oh, Tuhan…, seharum itukah peluh yang kutinggalkan, hingga bidadari ini mengetahui kemana kujejakkan langkah mencarinya”.
Senyumku lalu menguncup. Dalam benakku terbesit kata; sedari malam yang lalu, aku sudah merasa tak asing dengan wajahmu. Ketika itu aku berpikir, sepertinya, perempuan ini pernah kulihat di fakultas tempatku kuliah.
Setelah malam itu, aku mencoba mengikuti jejakmu di kampus, tapi tak kunjung kutemui. Sepenggal kisahmu lalu kudengar dari salah seorang yuniorku di jurusan. Katanya, kaulah bunga di angkatan teman sekuliahmu.
Katanya lagi, sejak dirimu baru menginjakkan kakimu di kampus ini, begitu banyak senior yang bertekuk lutut dan merajuk ingin kaujadikan pacarmu. Tapi semuanya kau tampik. Konon, setiap kali kau menolak mereka, kau selalu berkata, “Cintaku untuk semua lelaki”.
“Eh, kak. Aku mau makan siang,” ia membuyarkan konsentrasiku. Kemudian kudengar dari bibirnya yang ranum, bersambung lembut seuntai kalimat yang hampir sama diucapkan pada malam itu. “Temanin aku ke kantin dong, yuk!” Jari telunjukku digenggam, lalu digandengnya seolah aku ini adalah pangerannya.