Sabtu, 17 Mei 2008

Di Beranda Malam ini Dik


Malam ini, kulewati di beranda kamar saja. Sambil menyeruput teh buatan Ame, kupandangi bulan sabit menyipu di seperdua langit bagian timur sana.

Aku baru saja tiba di kamar ini. Peluhku belum usang. Namun, dalam senyap lirih terus meringkih. Akhirnya, kupilih mengulik malam. Menerawang diantara detak jarum jam dari kamar tetangga sebelah.

Ah, masih belum lekang pertemuan tadi sore itu. Di pelataran, arti perpisahan juga diurai oleh waktu. Aku tak banyak mengumbar kata, hanya tunduk pada keangkuhan takdir.

Dik, rasanya tak perlu mendeskripsikannya sebagai akhir. Ini untaian dari perjalanan hidup. Semuanya masih tetap berlanjut. Akan ada masanya, kita berpasrah dan mengharap tak ada yang perlu diobati.

Bulan kini, berada di puncak langit. Hpku bergetar digelitik kata-kata ketulusan . Ia menuturkan peluh mengikuti alur takdirnya,...... Jujur, hari ini sangat berat bagiku. Tapi saya yakin, semuanya akan indah pada waktunya….....

Duh, adik..., tak pernah kutemui deretan kalimat selembut bahasamu itu, tulus, lagi tegar seperti ketegasan larik bulan sabit menyapa malam ini.

Semoga beribu makna dipetik orang-orang mustada’fin dari ilmu yang engkau tanam.

Selasa, 06 Mei 2008

Akhirnya Kupahami

"Akhirnya aku memahami arti keberadaan di saat sore yang menguncup itu"

Sore ini, aku memilih merepih waktu di beranda rumah. Di atas sebuah kursi tua, aku duduk memanja. Agar tak bosan, kubawa segelas kopi. Dan, sesekali kuseruput seperti menyela larik gerimis hujan. Lalu satu-satu, kisah asmaraku selama di kota ini kembali kukais dalam pikiran. Kususun seperti cerita panjang dalam novel. Punya awal, juga akhir.

Namun
apa yang berarti dalam perjalanan ini, kecuali hanya kisah-kisah kegagalan. Aku teringat seorang senior. Waktu lalu, sebelum meninggalkan Makassar ke Jakarta, ia mengutarakan pendapat soal aku. Ia katakan, aku ini seperti anak panah. Sifatnya selalu melesat cepat, dan mampu menembus sasaran. Kalau dalam cinta, aku mampu meretakkan hati. Hehehe...,Waow! aku bukannya mau "terbang," saudara, malah rasanya mau kubenamkan saja kepalaku ke dalam tanah. "Wallahualambissawab!"

Bukan tak mau membenarkan. Tapi dalam perjalanan hidupku, apa yang diungkapkan itu, rasa-rasanya tak pernah aku alami. Malah sebaliknya, hatiku yang lebih sering diretakkan. Yah, aku pikir itu lebih tepat.


Senin, 05 Mei 2008

Senja dan Sepotong Waktu

Tak ada lain kuingat sore ini, hanya buku kumpulan cerita pendek Seno Gumira Ajidharma; Jazz, Parfum, dan Insiden. Pada satu bagian ceritanya, menghadirkan sesosok lelaki penikmat senja. Dengan senyap pria itu menelisik larik-larik senja yang bias menerjang angkuhnya beton-beton tinggi menjulang di Kota Jakarta.

Hidup lelaki itu tertawan senja. Sore tiba, ia menerawang bak memahami bait-bait puisi lirih. Baginya, mungkin ada kenangan dibalik senja. Seperti sebuah kejadian barangkali. Soal perjumpaan dengan wanita, atau boleh jadi, ia ditinggal pergi istri, atau orang yang dicintainya saat senja menyepuh langit di sebelah barat .

Senja seperti sebuah gradasi warna diantara warna-warna yang tegas. Hadir berdiri sendiri pada bentuk yang berbeda. Sangat maknawi. Karena itu, senja tak terbatas hanya pada warna yang diguratkan. Melainkan ditelisik hingga terurai dalam pengertian yang mengapresiasi kedirian orang yang melihatnya.

Kadang juga, kita memaknai senja seperti isyarat perpisahan menuju sisi lain kehidupan. Hanya dinikmati pada sepotong waktu. Ada yang katakan, senja seperti pintu ruang yang diukir dengan motif kenangan.

***
Kini, langit Masamba mulai temaram. Di bagian barat, senja pelan-pelan memupus. Diantara apitan perbukitan dan rimbunan pohon kelapa, dari sini, senja tidak begitu nampak. Hanya cahayanya menyapa segenap penghuni Desa Perintis.

Tak lama lagi, malam tiba. Suara jangkrik juga mulai riuh dan menjadi satu-satunya yang menghibur saat malam di Desa Perintis. Namun, Di kolong Alang milik salah seorang penduduk, dekat tanah lapang, aku belum beranjak pulang.

Di sisi bukit perintis, jejak senja belum lekang. Aku dengan seorang sahabat duduk berhadapan di kolong Alang itu dan bercerita tentang kenangan-kenangan yang terkulai lunglai sewaktu di kampus dulu. Namun, cerita ini hanya sekadar saja. Kami lebih kerap melempar pandangan ke arah datangnya cahaya senja, lantas membisu.

Sesekali, aku dan sahabat menyeruput kopi yang disajikan istri pak desa. Indo Canni namanya. Kopi ini hasil racikannya ini rasanya sangat nikmat, terlebih disajikan dalam cangkir terbuat dari bambu-Sehari sebelumnya, setelah tahu kami akan datang ke rumahnya, Indo Canni sengaja menumbuk kopi, hasil dari kebun dekat rumahnya buat disuguhkan hari ini.

Entah, bagiku senja sore ini cukup berbeda. Warna dan cahayanya seperti memapah ritme dan menjumut degupan jantungku.

Sembari memandangi senja, sesekali aku menghela nafas, dan menghirup udara segar yang bertiup melewati celah-celah hutan perawan menuju Desa Perintis.

Dari tepi-tepi bukit,dengan menyeberangi sungai, satu demi satu, terlihat rombongan keluarga petani. Mereka berlomba dengan kabut, yang akan segera turun. Mereka bergegas keluar dari bibir hutan dan segera menelusuri setapak yang membelah tanah lapang.

Nampaknya, mereka baru saja pulang dari kebun, atau sawah mereka. Dan, kini hendak menuju sungai membersihkan badan, lantas pulang ke rumah.

Suasana yang mengingatkan, akan kehidupan dulu di kampung halaman, tempat kelahiranku. Ah, Terusik batinku untuk pulang.
***
Dari surau, suara adzan mengumandang. Gemanya menggelinding ke tebing-tebing pegunungan, ke tengah hutan yang mengitari Desa Perintis hingga menyergah orang-orang untuk segera masuk rumah.

Pada sisi keberadaanku, di tepi tanah lapang, senja telah beku oleh kabut yang menyelimuti jantung desa.

Kemarin, pada waktu sama, saat matahari menepi di sisi langit bagian barat, dan larik-larik senja menggurat. Lewat pesan singkat di HP, gadis itu mengungkapkan keangkuhan. Mungkin itulah sebabnya, mengapa senja menawanku sore ini. Rupanya, warnanya mengabstraskin rasa yang tertampik...Hahahaha!

Uhh....! Aku lebih berharap, ungkapan ajakan tak seharusnya dia maknai terbatas pada untaian kalimat yang keluar dari mulut saja. Namun lebih dari itu. Seperti mendengarkan musik Jazz, kata Seno dalam novelnya. Rentetan lantunan musik Jazz adalah bentuk ekspresi untuk membebaskan jiwa yang terkungkung, bukan sekadar irama musik.

Harusnya, gadis itu memahami dan mengerti nilai dibalik ungkapan ajakanku seperti memahami musik Jazz-Kendati sedikit dipaksakan, hehehe! Ajakan tak sebatas ajakan, tapi bentuk ekspresi jiwa dan rasa yang menjerit. Maka itu harus dihargai.

Meski begitu, pada akhirnya aku harus memahami, memang bahasaku tak sebanding lantunan musik Jazz. Bahkan, tak seampuh ungkapan kalimat para lelaki-lelaki pesolek.

***
Kini, cukuplah aku mengenangnya hanya pada sepotong waktu, tatkala cahaya senja merona, dan mega-mega berarak dihempas angin di Desa Perintis, hingga berlalu ke selatan.