Rabu, 29 Oktober 2008

Suara Suling Jerami

Hujan tengah rintik, pada sore redup ini Aku kembali meresapi suaramu. Tak henti seperti air hujan yang jatuh tak berjedah. Aku merasai seperti suling jerami yang ditiup gadis-gadis desa di tebing-tebing bukit saat panen. Suaranya, bertiup dibawa angin gunung ke ngarai pada pagi. Nadanya sendu, sejuk, basah oleh embun yang bergelantungan pada daun-daun pakis. Lalu, meresap pada setiap ubun-ubun lelaki desa di bawah lembah.

Tahukah, tiupan suling jerami itu adalah tanda, seiring musim panen gadis-gadis desa di atas bukit juga tlah bertumbuh dewasa. Karena itu, mereka meniup suling jerami yang dililit daun nyiur, agar suaranya dapat membelah belantara hutan bambu, hingga ke ngarai-ngarai. Penuh harap, semoga ada lelaki baik yang rela menyambangi rumahnya saat pesta panen digelar.

Selasa, 21 Oktober 2008

DOKTRIN

Haru sedikit bercampur bangga, aku mendapat undangan dengan nama yang dibelakangya dibubuhi embel-embel S.IP....Kalau kuingat-ingat, rasanya baru kali ini namaku dibelakangnya ditambah tiga abjad yang dijedahi satu titik tersebut. Ehm, setelah enam tahun kuliah akhirnya ada juga yang mengingatku dengan gelar sarjana ilmu politik itu. Sayang, hingga kini ijasah itu masih sebatas jadi barang antik yang tersimpa apik dalam lemariku, hehehehehehe.
***

Adalah adik-adik dari Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, yang melayangkan undangan lewat short message dengan permintaan, turut "ambil jatah" dalam penutupan perkaderan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan Tahun 2008. Maksudnya, agar aku bisa memberikan doktrinasi terhadap mahasiswa baru tersebut di sela-sela ceremony penutupan di lapangan Fisip.

Awalnya senang, karena diundang dengan embel-embel gelar. Eh, sekarang aku agak "menggigil". Doktrinasi??? Waktu aktif di lembaga mahasiswa dulu, kata itu yang kuhindari.

Dalam hematku, sebagai lembaga yang tak berbasis ideologis, konsep doktrinasi sejatinya tak menjadi metode dalam rekrutmen keanggotaan. Aku lebih menganggapnya sebagai bentuk upaya penseragaman berpikir, dan merupakan hegemoni. Jadi meski, kekerasan fisik telah hilang dalam penerimaan mahasiswa baru, namun kekerasan lain masih tetap ada, yaitu memaksakan fram berpikir dalam kerangka yang sama. Jika begitu, maka pasti tak akan ada lagi dialektika.

Sudah hakekatnya, dalam setiap entitas kehidupan manusia, nilai selalu ada. Menurutku, pada titik itulah yang akan mempertemukan kita pada konsepsi yang sama, dan sekaligus juga memetakan kita pada ruang berbeda.

Pada lembaga kampus, setiap kita menjunjung tingga nilai. Namun tak harus sama di dalamnya. Pada wilayah tertentu, ada kalanya mahasiswa sama-sama turun ke jalan karena masalah yang dihadapi sama, dan ada kalanya tidak. Itulah lembaga mahasiswa. Ia harus mengakomodasi segala bentuk perbedaan di kalangannya, agar meski berbeda namun tetap satu.

Berbeda pada lembaga ideologis, di sana selalu ada satu kerangka yang dianggap solusi hidup. Ia adalah keyakinan tanpa materi, transenden. Karena itu doktrinasi berjalan pada bentuknya tanpa meski dipaksakan-meski pada soal metode, juga kerap terjadi pemaksaan. Tuhan memberikan dua jalan, baik atau buruk.

Kita selalu dianjurkan untuk berjalan pada kebaikan. Bagaimana agar baik? Maka taatilah tata nilai yang berlaku pada agama anda. Dalam segala hal, termasuk pendidikan. Juga ada meteode yang digunakan. Umumnya dalam lembaga ini dikenal adanya unsur pembebasan. Seperti yang diungkapkan pakar Teologi kenamaan, Faulo Freire bahwa nilai ketuhanan akan membebaskan setiap manusia dari ketidakadilan yang terbangun lewat pendidikan formal tersktruktural.

Nah, pada lembaga mahasiswa, kerangka tetap ada, namun lebih akomodatif. Susah memang. Karena itu bila bicara soal kemahasiswaan, apalagi doktrinasi, aku kerap menganggap tidak kapabel untuk itu. Aku hanya berpikir, biarkanlah mahasiswa-mahasiswa baru itu berjalan pada tata nilai yang diyakini, dan beranjak masuk ke lembaga mahasiswa dalam persepektif masing-masing. Kelak, mereka dengan sendirinya akan terikat pada tatanan lembaga itu. Karena pada langit-langit lembaga mahasiswa, selalu menggelayut beribu cita-cita, impian dan harapan. Tidakkah sebaiknya kita cukup membangun komitmen dan konsistensi bersama.........




Minggu, 19 Oktober 2008

Ke Tope Jawa

Akhir pekan pertengahan bulan ini, aku memilih meliburkan diri dari pekerjaan, dan memilih memenuhi undangan adik-adik di identitas Universitas Hasanuddin berlibur ke Kabupaten Takalar. Di sebuah pantai bernama Tope Jawa.
Sabtu malam, tepatnya kami berangkat ke lokasi wisata yang berada di bagian utara Kota Takalar itu. Rupanya, lokasinya lumayan jauh. Untuk kesana, harus menempuh waktu kurang lebih satu jam lebih, dengan kendaraan roda dua alias motor. Bukan sepeda, ya! Rasa-rasanya, bila diukur, jaraknya lebih dekat ke perbatasan Kabupaten Jeneponto dibanding dari Kota Takalar sendiri.

Pemandangannya biasa-biasa saja. Kondisi pantai, serta tetek bengek yang ada tak lebih baik dibanding Pantai Tanjung Bayang di Kota Makassar. Hanya saja bagi penikmat ikan bakar, di tempat itu, sangat mudah mendapatkan ikan untuk bahan santapan. Pasalnya, banyak nelayan yang pulang melaut kerap menjual langsung ikan kepada pengunjung. Selain itu, suasananya juga lebih tenang. Tak banyak orang yang berkunjung. Mungkin karena hari Sabtu.

Di sana, Aku sempat menyambangi rumah teman seangkatan waktu masih aktif di identitas. Namanya Amiruddin. Kami, kawan-kawannya dulu, lebih kerap memanggilnya Rano, hanya karena salah seorang senior pernah menyebut pria asli Takalar tersebut mirip Rano Karno, artis kondang jaman dulu. Tapi, di rumahnya, aku mendengar ia dipanggil Daeng Gassing-Wah, ingat tukang becak di Makassar.

Meski singkat, sungguh banyak kesan Di sana, aku sempat diskusi dengan kakek Daeng Gassing yang sudah berusia 85 tahun. Aku takjub dengan kakek yang dulu melalui hidupnya jadi guru di beberapa sekolah agama itu.

Untuk seusianya, kondisi fisik mantan guru ini masih cukup kuat. Daya ingatnya juga cukup baik. Ia hanya memiliki gangguan pada pendengaran. Jadi, kalau bicara dengannya, meski sedikit teriak.

Dengan suara terbata, kakek Daeng Gassing, menyampaikan petuah, bahwa sebagai orang terdidik, meski mengetahui hakekat dari pendidikan itu, yaitu senantiasa tak lepas dari nilai-nilai.

Baginya, dengan usia yang se-senja itu, kondisinya tetap prima untuk se-samannya karena menjalani hidup, selalu bergerak, mencoba meruahkan kemampuan bekerja sesuai tata nilai. Ia memahami pendidikan pada substansi. Menurutnya, substansi pendidikan dipahami ketika kita telah berjalan pada tata nilai itu.

"Ada pendidikan kaki, pendidikan tangan, pendidikan mulut", ungkapnya. "Pendidikan benar telah dipahami ketika kaki berjalan pada jalan lurus, tangan bergerak dan mengerjakan yang baik, dan mulut berbicara kebenaran", jelasnya.

***

Di Tope Jawa, tak banyak kesan yang aku dapat. Terkecuali, hanya masuk angin, lelah begadang mengikuti rapat evaluasi yang digelar adik-adik identitas dalam rangka pembenahan keredaksian di tabloid kampus tersebut, hingga subuh.

Meski begitu, aku tetap merasakan ada kesan bermakna. Suasana rapat evaluasi berlangsung penuh semangat kekeluargaan, toleransi yang tinggi, dan tak lepas dari candaan membuat aku banyak menyadari akan pentingnya saling menghargai, memahami lebih jauh arti persaudaraan, dan sebagainya. Terlebih setelah menyimak wejangangan dari kakek Daeng Gassing..........




Kamis, 16 Oktober 2008

Kampanye

Dua hari terakhir, aku terus digelimangi seribu janji. Tentang hidup yang ideal, dari keterpenuhan sandang, pangan, dan papan, hingga bahkan yang lux. Rasanya, sekejap seperti berada pada sebuah zaman dimana retorika baru saja berkembang menjadi sebuah kebiasaan sosial. Seperti yang terjadi di Pulau Sicilia, Yunani kurang lebih 465 sebelum masehi lalu. Bedanya, menurut sejarah yang tertera pada teks-teks buku retorika modern, orang-orang ketika itu beretorika, membuat pengaruh agar hak mereka dapat dipertahankan di pengadilan.

Sementara dua hari ini, orang-orang beretorika untuk membangun hegemoni, agar dapat terpilih jadi walikota. Tak penting, bagaimana caranya, halal atau tidak. Tak heran, dalam konsep metode kampanye politik, di bangku-bangku akademi, kerap kita kenal dengan isitilah, buatlah janji sebanyak-banyaknya. Sayangnya, mereka yang gegap gempita teriak di bawah panggung tak memahami itu.

Meki begitu, aku tak protes, tapi melainkan hanya terus jadi pendengar. Harapnya, mungkin aku bisa jadi penyaksi. Kali saja kelak aku bisa jadi tokoh pengungkap tentang seabrek kalimat harap yang terlontar dari panggung politik ini.

***

Dua hari terakhir, dari atas panggung, aku terus menelisik wajah-wajah simpatisan kampanye politik kandidat Walikota Makassar. Tepatnya di lapangan Hertasning, Jalan Toddopuli Raya, aku kemudian terus memikirkan, sungguh besar harapan orang-orang ini, tak kenal panas menunggu, dan pada akhirnya merasa puas dengan janji-janji.

Senin, 13 Oktober 2008

SAHAJA

Bersendalah diantara ceruk bebatuan alam itu, saat senja menukik ke tepi langit
Lalu padi-padi di hamparan sawah nan luas pada lembah bukit-bukit mulai bunting
Pucuknya rekah, lalu bulir-bulirnya mekar menembus dingin berkebat di tanah orang desa

Bersendalah diantara jejak-jejak penyadap tuak saat subuh masih hening
Lalu punai-punai di belantara pepohonan mengicau ketika halimun masih putih
Suaranya pecah pada bebatuan kali yang menggigil, lalu ke muara diseret arus

Bercintalah ketika petani telah siap menyemai takdirnya
dari bulir-bulir padi yang menghampar
Sebab, bila tidak maka panen akan gagal

Jadi orang terusir dari tanah kelahiran
"DiTalli" tak akan pulang sebelum ditimpakan petaka

Bercintalah ketika musim tlah berganti
dimana hanya tinggal remah-remah bulir padi saja yang berterbangan
memenuhi jalan desa, serta aroma jerami terbakar

Jadi suci diantara gelagah melambai
bersahaja seperti embun bening pada daun menangkup
Meski, pada suatu waktu matamu tlah enggan menatapku..................

Tamalanrea 13 Oktober 2008
Saat lelah, usai meliput kampanye politik salah satu kandidat Walikota Makassar