Jumat, 10 Desember 2010

Menanti Hujan Reda dan Spirit Sayyid Qutb

Ba’da Magrib hampir tiba. Tapi hujan lebat yang mengguyur bilangan hertasning sejak sore ini, belum menampakkan tanda reda. Air yang dituang malaikat dari langit itu bahkan mengguyur lebih hebat. Larik-lariknya bak tirai putih yang digelar menutupi mulut beranda warung ini. Tatapan dibatasinya, meski ingin melihat-lihat suasana saja-bahkan, sekedar untuk mengeja singkatan nama perusahaan listrik negara, yang terpampang lebar pada dinding pagar di seberang jalan, tak bisa lagi.Aku enggan beranjak dari warung kopi yang kebetulan milik seorang kawan ini. Rasanya, ingin berlama-lama. Niat menunaikan kewajiban pada Ilahi Rabb di masjid dekat rumah, urung. Aku pasrah, kembali melanjutkan kebiasaan sebelumnya, ba’da magrib di tempat ini-Teringat kalam Allah, dimana dan kemanapun kau berpaling, disitu ada wajah Allah Swt.
"Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115).
Aku mencoba memahami kalimat itu dengan akal, tulus dan melandasinya dengan rasa ikhlas, meski sepenuhnya pula kusadari, berjamaah di masjid, itu lebih baik. Tapi, mungkin ini bisa dikatakan pengecualian, karena ada alasan. Wallahu a’lam... ...
Bukan tak siap kuyup diguyur hujan. Tapi, aku khawatir saja. Jika nekat, ransel, serta buku dan laptop yang ada di dalamnya, juga ikutan kuyup. Duh, sayang kan?!
Kemarin-kemarin, hujan tak lama makanya hari ini aku tak bawa mantel. Kupikir hari ini juga terjadi hal sama. Jadi kutinggal saja di rumah. Ya, sebagai manusia, lazimlah mengira-ngira. Pada akhirnya Allah Swt yang memastikan.
***
Matahari telah lenyap ke belahan bumi lain. Dan, kini malam sepenuhnya berkuasa. Sepotong jalan hertasning yang membujur di depan warung ini, mulai dipenuhi cahaya-cahaya. Tapi, hujan belum reda.
Di warung ini, aku tak sendiri. Di sampingku, duduk seorang pengunjung laki-laki. Ia duduk mematung, tak bergeming di depan laptopnya. Di atas meja, dekat laptopnya itu, tergeletak sebungkus rokok putih. Juga Sebuah gelas berisi kopi yang setengahnya pupus diseruput. Sejak sore tadi, ia memang tak henti menghisap dalam, batang demi batang rokok, mengasapi seisi ruangan.
Hujan membuat orang ini lebih dalam lagi mengisap rokok. Ia begitu menikmati suasana, dan lebih tenang, fokus mencari-cari bahan persentase untuk acara seminar. Sesekali aku diajaknya bicara soal masa depan negeri ini-Barangkali menanggapi informasi yang didapat di situs berita. Salah satu yang dikatakan,“Di Medan, perampokan Bank kembali dikaitkan dengan aksi terorisme. Apa benar?? Jangan-jangan fakta itu hanya peta yang diciptakan.
Masa sich!? di era modern ini masih ada sekelompok orang yang ingin memaksakan keyakinan dan kehendaknya pada kelompok lainnya”. Makin banyak referensi ditemukan di internet, komentarnya makin gencar pula.
***
Hujan masih mengguyur deras. Depan sebelah kanan, pada meja yang dekat dengan pintu masuk, ada lima perempuan berbincang-bincang. Dari tempatku, suaranya lamat-lamat.
Hanya satu, atau dua kata saja yang tegas kudengar. Diantaranya ada kata-kata kawin, pasangan ideal, urusan dapur, saling memahami, dan lain-lain. Mungkin, mereka seluruhnya masih gadis. Satu yang paling tegas, ruangan ini jadi gaduh akibat suara slopnya yang keranjingan membentur lantai, tak henti-henti.
Sejam lalu, para perempuan itu telah memesan lima gelas teh. Dan, kini menikmatinya dalam riuh derai hujan. Aku menebak-nebak, kenapa mesti teh? Barangkali untuk menghangatkan suasana, juga jadi amunisi, agar pita suara mereka tak lelah berkicau, bak burung di pagi hari
Atau, guna membongkar mainstream atas warung kopi yang selama identik dan didominasi lelaki. Mungkin, mereka harap warung kopi berubah nama jadi warung teh, esok.
Teringat catatan tentang khasiat teh dalam sebuah situs yang kubaca beberapa hari lalu, juga di tempat ini. Penulis dalam situs tersebut mengungkapkan, mereka yang biasa minum teh sejak muda, risiko terkena osteoporosis kurang. Si penulis menyadur informasi dari laporan hasil penelitian Verona M Hegarty (2000) dan para peneliti dari Clinical Gerontology Unit, University of Cambridge School of Medicine serta Rumah Sakit Addenbrooke di Cambridge, Inggris, yang dimuat dalam American Journal of Clinical Nutrition (2000).
Penelitian dilakukan pada 1.256 perempuan berusia 65-75 tahun, terdiri atas peminum teh 1.134 orang dan bukan peminum teh 122 orang. Mereka diukur BMD (bone mineral density, kepekatan mineral tulang) pada beberapa tulangnya. Hasilnya, ukuran BMD tulang-tulang peminum teh secara signifikan lebih besar dari pada kelompok bukan peminum teh. Ukuran BMD yang besar menunjukkan kekerasan tulang sehingga tidak mudah rapuh.
Hmmm..., smoga mereka memikirkan hal sama.
***
Laun-laun bulir hujan mengecil. Suara timpahnya pada atap seng rumah sebelah, juga mereda. Tadi, atap itu menimbulkan bunyi serupa alunan pukulan rancak tak menentu. Yah, hujan memang punya irama sendiri. Sederas-derasnya, jua akan menangkan hati. Seperti yang kurasa kini. Bersama segelas kopi, hujan telah membawaku larut dalam penelusuran diri.
Refleksi atas hidupku. Pada segala yang kutinggal di belakang, dan harapan pada esok hari. Betapa kuasa Allah Swt yang telah menurunkan rahmat ini. Benar apa kata Al Qur’an, sesungguhnya ditiap-tiap ciptaanNya itu, terdapat tanda-tanda kekuasaanNya. Maka, wajib bagi manusia mengimani segala tanda-tanda itu.
Mungkin karena keIlahiannya itu, suara hujan begitu menenangkan hati.
Hmmm...lama-lama, tak ingin rasanya hujan ini pergi. Meski sedari tadi, aku menunggunya agar reda. Aku benar-benar larut dalam buaiannya. Terbawa pada alas pikir tentang hidup, ego, rasa angkuh, dan kesombongan diri. Aku mencoba bercermin pada kehidupan yang telah kulewati. Sekedar menghitung-hitung perbuatan, pendirian, dan sikap. Di tanganku, tak lepas buah pikiran Sayyid Qutb. Ia membantuku menemukan jawaban-jawaban atas berbagai soal yang menggelayut di kepala.
Yah, telah separuh usiaku di atas dunia. Tapi, apa yang telah kuberikan kepada sesama, ibu, adik, dan kakak-kakakku? Apa doa-doaku akan kebahagiaan ayah di kehidupan sesungguhnya diterimaNya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di kepalaku. Pertanyaannya tak cuma itu, benar-benar banyak hingga benakku menyentuh-nyentuh. Kata Aid Al Qarni dalam La Tahzan, “kematian itu lebih pasti dari masa tua”.
Acapkali aku merasa, ego menghadapi hidup ini. Hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan, tambah lagi, tak punya rasa sukur. Materialistis. Tak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Aku sibuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupku. Sementara, di sekitar begitu banyak manusia-manusia lebih miskin dan menderita. Mereka butuh uluran tangan. Tak hanya soal makan, juga dalam hal pengetahuan.
Mungkin, seorang aku tak dapat mengeluarkannya dari kemiskinan, juga kebodohan. Namun substansinya terletak pada masalah, apa yang telah kuberikan buat mereka. Juga manusia-manusia lainnya. Apa yang telah mereka berikan pada sesamanya manusia. Apa tak hanya ego, menumpuk-numpuk kekayaan, tak melirik ke kanan dan ke kiri.
Beberapa study tentang Islam, Sayyid Qutb menyebutnya sebagai ego fanatik. Tak hanya terjadi dalam relasi atau hubungan kemanusiaan, diri dengan diri, diri dengan manusia lainnya, lingkungan, serta dengan Sang Ilahi Rabbi. Dalam pandangan tokoh ikhwanul muslimin ini, ego berlebih yang mengedepankan materi, tanpa pijakan nilai Ilahi, maka sama saja menciptakan berhala-berhala dalam hidupnya. Bahkan termasuk terhadap keyakinannya.
Ego terhadap keyakinan, bila memaksa orang lain mengiyakan keyakinannya itu. Begitu pula ketika sekelompok manusia mengatasnamakan jenis kelamin sebagai alat untuk mengukuhkan sikap dan pikiran mereka sebagai kebenaran mutlak, dalam menilai lainnya. Atau mereka membuka kesenjangan, perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam konteks hidup bersosial, berbudaya, dan bahkan beragama.
***
Sejak berabad-abad silam, setelah kemenangan kekhalifahan Islam Ottoman atas Romawi Timur atau dikenal dengan Bizantium, perang salib rupanya belum berakhir. Barat, dengan keyakinan kudus memendam sakit hati. Mereka tak henti menyerang kekuatan Islam di Eropa bagian timur, kemudian menaklukkannya. Dengan misi Glory, Gold, dan Gospel, mereka menjelajah ke negeri-negeri Islam, memasuki pusat peradaban Islam di tepi-tepi Eufrat dan Tigris, hingga Asia. Semangat kekhalifahan pudar, dan kolonialisme lahir. Sejak itu pula, banyak negeri-negeri berpenduduk muslim tercerabut dari keyakinannya yang azali.
Kehidupan sosial politik terpisah dari keislaman. Lewat prinsip-prinsip demokrasi, barat sukses merubah pola interaksi sosial dan kebudayaan suatu negeri. Isu-isu hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, gender, dan lain-lain. Padahal, jauh sebelum revolusi industri bergulir di Inggris, di Kota kecil Medinah, Muhammad bin Abdullah, Rasul Allah Swt telah bersabda, “Siapa yang membunuh budaknya akan kami bunuh pula. Siapa yang memotong bahagian badan budaknya akan kami potong pula bahagian badannya. Siapa yang mengembiri budaknya akan kami kembiri pula” (Bukhari dan Muslim ). Itulah bentuk penentangan pada perbudakan, bentuk ketimpangan paling rendah dalam kehidupan manusia.
Perbudakan yang lazim bagi bangsa arab pun hilang. Manusia diciptakan Allah, dan sama dihadapanNya.
Allah Swt lewat Muhammad telah mengurai soal gender. Bahkan disajikan dalam topik utama Surat an-Nisa’, salah satunya menjelaskan,“Laki-laki memperoleh bahagian dari apa yang mereka usahakan. Wanita memperoleh bahagian dari apa yang mereka usahakan.” (32).
Jejak kesuksesan barat itu, sangat terasa kini. Bahkan mengakulturasi dalam kepribadian sebagian besar umat muslim. Oleh intelektual barat, sekulerisme dan liberalisasi berjalan tanpa kendala serius di negeri-negeri umat islam melalui ilmu pengetahuan. Islam tak dapat membendung karena sebelumnya, jauh di era kolonial, bangsa-bangsa eropa dalam hal ini Inggris, telah sukses menginfiltirasi gerakan islam. Membangun dialektika hingga perbedaan pun kian tegas di kalangan umat islam sendiri. Berhala baru lahir sebagaimana dipaparkan sebelumnya, yaitu berhala barat dan fanatisme umat islam. Barat, melahirkan paham fanatik kebangsaan yang melegitimasi peran agama dalam kehidupan. Materialisme postivistik menggantikan keyakinan, hingga akhirnya mendorong manusia memburu kekayaan dunia, berlomba-lomba menciptkan teknologi mutakhir untuk saling menaklukkan. Dan, kemudian merusak keseimbangan alam. Sementara, dalam diri umat islam fanatisme ditandai munculnya seabrek organisasi berbasis keislaman. Dengan manhaj masing-masing, jarang saling membenarkan. Lebih banyak menyalahkan, bahkan saling menyesatkan.
Risalah Muhammad Saw adalah revolusi pembebasan manusia secara total, mencakup seluruh kehidupan manusia, dan menegakkan aqidah islam. Karena itu, Sayyid Qutb mengatakan revolusi dalam islam adalah menentang berhala kefanatikan dalam segala bentuk rupa dan warna, juga kefanatikan agama. “Tidak boleh ada paksaan dalam agama! Yang bijaksana itu telah nyata bedanya dari yang sesat. Siapa yang ingkar kepada berhala dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus.” (al-Baqarah : 256).
Menentang kefanatikan kebangsaan yang berdasar pada persamaan bentuk, warna kulit, bahasa, tempat lahir, dan sebagainya.
***
Hujan berakhir di pucuk malam, dan benar-benar telah berlalu. Segala soal yang membebaniku juga resap ke dalam tanah dibawanya. Kini, tersisa rindu.....
Hertasning, 12 September 2101, saat rinduku memuncak... ...


Tidak ada komentar: