Rabu, 20 Agustus 2008

Euforia Politik 2009

Tahun 2009 tak lama lagi. Tinggal menghitung beberapa bulan saja. Dari pusat kota seperti Makassar, hingga ke tingkat kabupaten, dari petani, kaum terpelajar, kalangan tua, hingga kaum muda, digerogoti euforia politik.

Tak ayal lagi, sebagian besar dari kalangan tersebut sibuk mengunjuk diri berebut posisi di tubuh-tubuh partai. Tujuannya!? Tentu saja, jadi calon legislatif, memburu kursi di gedung dewan.

Tak ada yang melarang, atau membatasi. Negara kita berdiri di atas asas demokrasi konstitusional. Dan, kini proses menuju konsesus bangsa itu sedang berlangsung.

Hanya saja, di tengah situasi bangsa yang terpuruk secara sosial ekonomi, sangat penting untuk kembali menilik apa latar dibalik munculnya niat oleh banyak orang menjadi wakil rakyat di gedung dewan. Ini fenomena, yang tentu saja bisa lahir karena tumbuhnya kesadaran politik warga bangsa untuk menjadi bagian dari proses demokrasi yang tengah berlangsung. Namun, bisa juga merupakan salah satu bentuk shock kultur.

Lahirnya sistim multipartai yang digulirkan pasca reformasi sebagaimana yang kini dianut dalam sistim berdemokrasi di Indonesia, telah menciptakan kekagetan dalam masyarakat kita. Dulu, legislatif dipandang sebagai lembaga terhormat, hanya dapat diisi orang-orang tertentu, sesuai titah penguasa.

Hingga akhirnya, setelah reformasi merubah segalanya, kran kebebasan tebuka lebar dalam segala lini kehidupan berbangsa. Tak terkecuali dalam bidang politik pemerintahan.

Tengok saja, pencalegan menghadapi Pemilu 2009 oleh parta-partai politik pada medio 2008 ini. Orang-orang berlomba mengunjuk diri agar namanya masuk dalam salah satu nomor urut caleg partai politik tertentu. Banyak yang tak tahu diri, tak mengukur kapasitasnya, baik secara intelektual, fisik, maupun secara kejiwaan.

Di daerah, hanya karena partai memberi ruang, tak kenal petani, peladang, pengusaha, birokrat, maju serampangan. Bukan karena semangat demokrasi yang mendorong, namun banyak yang maju . Belum lagi kultur Opu dan Andi masih sangat lekat. Tidak profesionalnya partai dalam mengelolah manajemen sumber daya manusia, ditengarai adalah penyebab dibalik ambruknya tatanan politik di daerah.

Di Kota Makassar juga demikian, malah ada yang satu keluarga jadi caleg lewat satu partai. Ada apa ini? Tentu saja hal ini menyisakan tanda tanya besar. Apakah partai telah melakoni fungsinya secara profesional yang berlandaskan di atas kesadaran membangun bangsa, ataukah sekadar jadi alat legitimasi bagi kelompok tertentu saja untuk menaikkan prestise. Benarkah masyarakat kita dengan menyadari substansi kehadirannya dalam kancah perpolitikan menuju kursi legislatif.

Inilah euporia Pemilu 2009. Jika DPRD hanya diisi kakak beradik, sepupu, atau suami istri, bisa dibayangkan, seperti apa jadinya negara kita 10 tahun ke depan…..


Tidak ada komentar: