Senin, 01 September 2008

Rindu

Sejak dulu, seiring detak jantungku yang tak berjedah, nyaris separuh ruang di kepalaku tlah kunisbahkan untuk rasa rindu; rasa rindu pada kampung halaman. Ada-ada saja yang memantik rasa itu, hingga kembali hadir. Seperti itu terus bergulir, mengikuti alur waktu.

Ramadhan kali ini, rindu itu kembali memuncak. Seperti ingin buncah. Dan, dua malam lalu, sebelum hari kedua sholat taraweh malam ini, aku sempat bermimpi bertemu ayah. Kurasakan kehadirannya mengingatkan untuk pulang, menengok bunda, abang, dan adik perempuanku yang seorang, dan menzirahi pusaranya.

Kemarin, di tengah lamunan saat sedang duduk di tepi sebuah jalan protokol di kota ini, selintas juga kuingat, bulan lalu lewat telepon bunda sempat berpesan, agar hari pertama Ramadhan, aku harus pulang untuk sekadar membuka puasa bersamanya.

Beberapa tahun sebelumnya, terlebih lagi waktu masih kuliahan dulu, berpuasa hari pertama di kampung memang sudah jadi program tetapku. Tapi, kali ini rutinitas itu mulai putus. Tuntutan tanggung jawab, sebagai pewarta di sebuah media elektronik sedikit memaksaku agar tidak beranjak dari kota ini.

Sesungguhnya, jika ditilik, atau mungkin menurut hemat sebagian orang yang melakoni aktifitas seperti aku, pulang kampung sewaktu-waktu bisa saja dilakukan. Terlebih lagi, statusku bukanlah selaku karyawan tetap di media itu. Aku digaji sesuai jerih payahku membuat berita hasil liputan.

Namun bagiku, bekerja pada media, tak terbatas pada status. Lebih dari itu, menurutku. Ada substansi dibaliknya yang sebenarnya diemban. Karena itu, aku berpikir bahwa pulang kampung kini harus diproporsionalkan. Tak lagi semau-maunya. Ada saatnya nanti, kalimat "pamit" pasti kuruahkan. Ntah, sebagai tanda pasrah, pulang, atau hanya menegaskan, bahwa aku sudah lelah jadi orang terkutuk, yang selalu melihat sisi lain dari kehidupan, nasib bangsaku.

***
Duh, siapa pula yang memutar lagu Dik Doank itu di sebelah sana.

Kenangan terentang bagai lukisan terpanjang,
Tak pernah bertepi selalu ada dan menggoda,
Bagai terurai di relung hati,
Dan takkan kutahan sekarang aku harus pulang,
Aku rindu ibu, wibawa ayah dan suasana yang ada.
Yang pernah singgah.....

Kedengarannya lamat-lamat, namun seperti mememerah air mata. Agh! aku ingin pulang, dan mengulik senja di atas bukit dekat rumah.....!!




Tidak ada komentar: