Suatu siang di sudut jalan dekat salah satu mall besar Kota Makassar, sederet mobil ragam merk melintas di hadapanku. Dari mobil deretan paling depan, tepatnya dari atap mobil tersebut, sesekali memekik suara menghimbau lewat Toa.
Memang sengaja kutunggui mobil ini. Bukan bermaksud apa-apa, mau numpang atau semacamnya. Kebetulan beberapa jam sebelumnya, terlontar suara perintah untukku lewat telepon; meliput razia gepeng oleh salah satu dinas.
Dan, itulah mereka. Datang dengan mobil berderet-deret. Beberapa diantaranya dibentangi spanduk disisinya. Tulisannya kulupa.
Meliput razia gepeng? Tiba-tiba saja pertenayaan menyeru itu muncul dalam benakku. Ah, tidak jadi. Aku balik kanan saja. Persetan! Mereka hanya ingin tenar, mendapat harga dari sesamanya, bahwa telah sukses menangani penyakit sosial, yaitu gelandangan. Aku lebih melihatnya sebagai satu tindakan "genosida" terhadap kaum miskin.
***
Mengapa kemiskinan harus dicaci, katanya buah dari rasa malas oleh orang-orang yang tak memiliki ikhtiar alias gelandangan. Mengapa pula setiap wanita-wanita berbaju kumal, bocah-bocah dekil di tepi-tepi jalan itu harus disingkirkan, digilas dari pandangan manusia-manusia, dari sebuah entitas yang namanya peradaban.
Bukankah mereka bagian dari peradaban ini, meski dalam konteksnya adalah sampah. Kadang aku tak mengerti, diantara kita masih ada saja menzalimi, menghukum sesama yang kebetulan tidak beruntung dalam hidup. Bersukurlah, bila itu datangnya dari Tuhan. Karena kita cukup menghitungnya sebagai nasib, atau semacamnya.Tapi, bagaimana bila justru mereka miskin disebabkan oleh sesuatu selain Tuhan, namun tetap berada di luar konteks kediriannya. Semacam sebuah tatanan sistim kehidupan bangsa. Haruskah orang dimiskinkan tetap kita "maki"?
Ingat saat VOC masih menguasai daratan dan lautan nusantara, dan dikerangkengnya tatanan hidup manusia di dalamnya di bawah entitas Hindia Belanda. Hingga akhir abad 19, atau jelang abad 20. Masyarakat di nusantara hidup dalam kebodohan. Tentu saja, dalam perperspektif tantanan kolonial, Hindia Belanda itu. Bagaimana tidak masyarakat tidak bodoh, kurang lebih 300 tahun lebih lamanya, kaum pribumi diikat dalam sistim penindasan terstruktur alias dijajah. Tak ada celah bagi mereka untuk keluar dar tatanan sistim cocok tanam yang dibuat untuk kepentingan VOC. Akhirnya, watak pribumi dalam konteks tatanan Hindia Belanda tak ubahnya sampah.
Beruntung politik etis datang, meski sebenarnya sistim dibawanya, menitikberatkan pada tatapola hidup, dengan takaran dunia eropa yang sekian abad peradabannya lebih maju. Sehingga, kemajuan pola pikir kalangan pribumi yang mulai terpelajar masih tertekuk sistim Hindia Belanda.
***
Dalam kajian sosial, ekonomi, politik dan budaya sebuah bangsa, dikenal tiga faktor penyebab terciptanya kemiskinan rakyat. Pertama, rakyat miskin karena alam, atau miskin natural. Kedua, rakyat miskin disebabkan kungkungan doktrin budaya, atau miskin secara kultural, dan ketiga rakyat miskin karena struktur, atau kerap kita kenal dengan istilah miskin structural.
Miskin secara natural lebih pada masalah sumber daya alam yang memagari keinginan manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak pada negeri, tempatnya berpijak. Tanah yang tandus, tanpa sumber air memadai, menyebabkan manusia tak dapat berbuat banyak untuk mengatasi persoalan hidupnya, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan secara ekonomi.
Itulah kemiskinan pertama, tentu saja butuh pemakluman. Demikian juga dengan miskin natural, yang kurang lebih dipengaruhi nilai budaya.
Ibarat dua sisi mata uang, kedua bentuk kemiskinan di atas saling bertalian. Dan, uang itu sendiri adalah kemiskinan struktural. Pada akhirnya segalanya bermuara pada kemiskinan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar