Selasa, 21 Oktober 2008

DOKTRIN

Haru sedikit bercampur bangga, aku mendapat undangan dengan nama yang dibelakangya dibubuhi embel-embel S.IP....Kalau kuingat-ingat, rasanya baru kali ini namaku dibelakangnya ditambah tiga abjad yang dijedahi satu titik tersebut. Ehm, setelah enam tahun kuliah akhirnya ada juga yang mengingatku dengan gelar sarjana ilmu politik itu. Sayang, hingga kini ijasah itu masih sebatas jadi barang antik yang tersimpa apik dalam lemariku, hehehehehehe.
***

Adalah adik-adik dari Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, yang melayangkan undangan lewat short message dengan permintaan, turut "ambil jatah" dalam penutupan perkaderan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan Tahun 2008. Maksudnya, agar aku bisa memberikan doktrinasi terhadap mahasiswa baru tersebut di sela-sela ceremony penutupan di lapangan Fisip.

Awalnya senang, karena diundang dengan embel-embel gelar. Eh, sekarang aku agak "menggigil". Doktrinasi??? Waktu aktif di lembaga mahasiswa dulu, kata itu yang kuhindari.

Dalam hematku, sebagai lembaga yang tak berbasis ideologis, konsep doktrinasi sejatinya tak menjadi metode dalam rekrutmen keanggotaan. Aku lebih menganggapnya sebagai bentuk upaya penseragaman berpikir, dan merupakan hegemoni. Jadi meski, kekerasan fisik telah hilang dalam penerimaan mahasiswa baru, namun kekerasan lain masih tetap ada, yaitu memaksakan fram berpikir dalam kerangka yang sama. Jika begitu, maka pasti tak akan ada lagi dialektika.

Sudah hakekatnya, dalam setiap entitas kehidupan manusia, nilai selalu ada. Menurutku, pada titik itulah yang akan mempertemukan kita pada konsepsi yang sama, dan sekaligus juga memetakan kita pada ruang berbeda.

Pada lembaga kampus, setiap kita menjunjung tingga nilai. Namun tak harus sama di dalamnya. Pada wilayah tertentu, ada kalanya mahasiswa sama-sama turun ke jalan karena masalah yang dihadapi sama, dan ada kalanya tidak. Itulah lembaga mahasiswa. Ia harus mengakomodasi segala bentuk perbedaan di kalangannya, agar meski berbeda namun tetap satu.

Berbeda pada lembaga ideologis, di sana selalu ada satu kerangka yang dianggap solusi hidup. Ia adalah keyakinan tanpa materi, transenden. Karena itu doktrinasi berjalan pada bentuknya tanpa meski dipaksakan-meski pada soal metode, juga kerap terjadi pemaksaan. Tuhan memberikan dua jalan, baik atau buruk.

Kita selalu dianjurkan untuk berjalan pada kebaikan. Bagaimana agar baik? Maka taatilah tata nilai yang berlaku pada agama anda. Dalam segala hal, termasuk pendidikan. Juga ada meteode yang digunakan. Umumnya dalam lembaga ini dikenal adanya unsur pembebasan. Seperti yang diungkapkan pakar Teologi kenamaan, Faulo Freire bahwa nilai ketuhanan akan membebaskan setiap manusia dari ketidakadilan yang terbangun lewat pendidikan formal tersktruktural.

Nah, pada lembaga mahasiswa, kerangka tetap ada, namun lebih akomodatif. Susah memang. Karena itu bila bicara soal kemahasiswaan, apalagi doktrinasi, aku kerap menganggap tidak kapabel untuk itu. Aku hanya berpikir, biarkanlah mahasiswa-mahasiswa baru itu berjalan pada tata nilai yang diyakini, dan beranjak masuk ke lembaga mahasiswa dalam persepektif masing-masing. Kelak, mereka dengan sendirinya akan terikat pada tatanan lembaga itu. Karena pada langit-langit lembaga mahasiswa, selalu menggelayut beribu cita-cita, impian dan harapan. Tidakkah sebaiknya kita cukup membangun komitmen dan konsistensi bersama.........




Tidak ada komentar: