Minggu, 19 Oktober 2008

Ke Tope Jawa

Akhir pekan pertengahan bulan ini, aku memilih meliburkan diri dari pekerjaan, dan memilih memenuhi undangan adik-adik di identitas Universitas Hasanuddin berlibur ke Kabupaten Takalar. Di sebuah pantai bernama Tope Jawa.
Sabtu malam, tepatnya kami berangkat ke lokasi wisata yang berada di bagian utara Kota Takalar itu. Rupanya, lokasinya lumayan jauh. Untuk kesana, harus menempuh waktu kurang lebih satu jam lebih, dengan kendaraan roda dua alias motor. Bukan sepeda, ya! Rasa-rasanya, bila diukur, jaraknya lebih dekat ke perbatasan Kabupaten Jeneponto dibanding dari Kota Takalar sendiri.

Pemandangannya biasa-biasa saja. Kondisi pantai, serta tetek bengek yang ada tak lebih baik dibanding Pantai Tanjung Bayang di Kota Makassar. Hanya saja bagi penikmat ikan bakar, di tempat itu, sangat mudah mendapatkan ikan untuk bahan santapan. Pasalnya, banyak nelayan yang pulang melaut kerap menjual langsung ikan kepada pengunjung. Selain itu, suasananya juga lebih tenang. Tak banyak orang yang berkunjung. Mungkin karena hari Sabtu.

Di sana, Aku sempat menyambangi rumah teman seangkatan waktu masih aktif di identitas. Namanya Amiruddin. Kami, kawan-kawannya dulu, lebih kerap memanggilnya Rano, hanya karena salah seorang senior pernah menyebut pria asli Takalar tersebut mirip Rano Karno, artis kondang jaman dulu. Tapi, di rumahnya, aku mendengar ia dipanggil Daeng Gassing-Wah, ingat tukang becak di Makassar.

Meski singkat, sungguh banyak kesan Di sana, aku sempat diskusi dengan kakek Daeng Gassing yang sudah berusia 85 tahun. Aku takjub dengan kakek yang dulu melalui hidupnya jadi guru di beberapa sekolah agama itu.

Untuk seusianya, kondisi fisik mantan guru ini masih cukup kuat. Daya ingatnya juga cukup baik. Ia hanya memiliki gangguan pada pendengaran. Jadi, kalau bicara dengannya, meski sedikit teriak.

Dengan suara terbata, kakek Daeng Gassing, menyampaikan petuah, bahwa sebagai orang terdidik, meski mengetahui hakekat dari pendidikan itu, yaitu senantiasa tak lepas dari nilai-nilai.

Baginya, dengan usia yang se-senja itu, kondisinya tetap prima untuk se-samannya karena menjalani hidup, selalu bergerak, mencoba meruahkan kemampuan bekerja sesuai tata nilai. Ia memahami pendidikan pada substansi. Menurutnya, substansi pendidikan dipahami ketika kita telah berjalan pada tata nilai itu.

"Ada pendidikan kaki, pendidikan tangan, pendidikan mulut", ungkapnya. "Pendidikan benar telah dipahami ketika kaki berjalan pada jalan lurus, tangan bergerak dan mengerjakan yang baik, dan mulut berbicara kebenaran", jelasnya.

***

Di Tope Jawa, tak banyak kesan yang aku dapat. Terkecuali, hanya masuk angin, lelah begadang mengikuti rapat evaluasi yang digelar adik-adik identitas dalam rangka pembenahan keredaksian di tabloid kampus tersebut, hingga subuh.

Meski begitu, aku tetap merasakan ada kesan bermakna. Suasana rapat evaluasi berlangsung penuh semangat kekeluargaan, toleransi yang tinggi, dan tak lepas dari candaan membuat aku banyak menyadari akan pentingnya saling menghargai, memahami lebih jauh arti persaudaraan, dan sebagainya. Terlebih setelah menyimak wejangangan dari kakek Daeng Gassing..........




1 komentar:

Laskar MAKASSAR mengatakan...

pantasan tidak liputanmu krn lebih banyak waktu berlibur. makanya jgn mengeluh terus.......