Kamis, 16 Oktober 2008

Kampanye

Dua hari terakhir, aku terus digelimangi seribu janji. Tentang hidup yang ideal, dari keterpenuhan sandang, pangan, dan papan, hingga bahkan yang lux. Rasanya, sekejap seperti berada pada sebuah zaman dimana retorika baru saja berkembang menjadi sebuah kebiasaan sosial. Seperti yang terjadi di Pulau Sicilia, Yunani kurang lebih 465 sebelum masehi lalu. Bedanya, menurut sejarah yang tertera pada teks-teks buku retorika modern, orang-orang ketika itu beretorika, membuat pengaruh agar hak mereka dapat dipertahankan di pengadilan.

Sementara dua hari ini, orang-orang beretorika untuk membangun hegemoni, agar dapat terpilih jadi walikota. Tak penting, bagaimana caranya, halal atau tidak. Tak heran, dalam konsep metode kampanye politik, di bangku-bangku akademi, kerap kita kenal dengan isitilah, buatlah janji sebanyak-banyaknya. Sayangnya, mereka yang gegap gempita teriak di bawah panggung tak memahami itu.

Meki begitu, aku tak protes, tapi melainkan hanya terus jadi pendengar. Harapnya, mungkin aku bisa jadi penyaksi. Kali saja kelak aku bisa jadi tokoh pengungkap tentang seabrek kalimat harap yang terlontar dari panggung politik ini.

***

Dua hari terakhir, dari atas panggung, aku terus menelisik wajah-wajah simpatisan kampanye politik kandidat Walikota Makassar. Tepatnya di lapangan Hertasning, Jalan Toddopuli Raya, aku kemudian terus memikirkan, sungguh besar harapan orang-orang ini, tak kenal panas menunggu, dan pada akhirnya merasa puas dengan janji-janji.

Tidak ada komentar: