Selasa, 02 Desember 2008

Malam, AJI, Teater dan identitas

Malam telah beranjak seperdua, namun mataku tak jua terpejam. Entah, apalagi sebab yang menekuk kantukku. Aku terus dalam pusaran terang. Sementara, angin Ac itu terus mendesir, berusaha menghempas nyamuk-nyamuk ganas yang emosi dan bernafsu tuk terus menggagahi seluruh tubuhku. Ugh! Malam yang malang. Aku hanya bisa merengkuh pada ketakberdayaan melawan pekat hitam di ruang hanya beralas secarik kain gorden jendela. Harusnya, aku ke rumah malam ini. Namun telah larut.Tak seperti malam-malam kemarin, kulalui begitu pulas. Meski tak ada jalan pulang ke rumah. Namun setidaknya ada pilihan suasana untuk lepas dari jeratan gulita. Senin, malam. Aku kembali singgah di sekretariat salah satu organisasi jurnalis di kota ini. Kebetulan, seorang senior, dan beberapa wartawan televisi mau menemani melewati malam di sana.
Kami menggelar karpet di lantai dua rumah. Bukan dalam ruangan, tepatnya di atap rumah. Ya, kami menyebutnya atap, hanya saja terbuat dari coran beton. Aah, ide yang gila. Tapi bagaimanapun, hanya itu cara menerobos waktu malam ini. "Kita orang miskin, juga harus belajar hidup bahagia," kata Kak Ahmad, salah seorang wartawan Trans Tv di Makassar, sambil lalu mengangkat Laptop milik Yunus, kontributor Metro Tv, ke lantai dua sekertariat AJI. Memang, ia yang mencetuskan ide itu.
Kami nonton pilem, "Sometimes in April". Meski sudah pernah kunonton, namun dengan view terbuka, pilem ini tetap mengugah. Sesekali memandangi bintang, dan berseloroh tentang banyak hal. Waoww!! Meski suntuk, tapi malam yang asik.
Juga pada malam Minggu. Seperti pula malam ini, ruang kembali ke rumah telah sesak. Tapi, ada tempat memilih membunuh waktu, di Gedung Socited de Harmonie. Kudengar dari seorang kawan, sebuah pementasan teater, kalau tidak salah bertajuk I Mangkawani, tengah berlangsung di tempat itu. Menurutnya, ceritanya bagus. Berkisah tentang hubungan cinta seorang putri raja, namun berakhir dengan tragis. Kurang lebih seperti kisah Romeo dan Juliet-lah di Eropa sana. Apalagi yang main, banyak aktor atau seniman senior pula.
Wah, tontonan menarik. Dulu, untuk menyelingi rutinitas kuliah yang sumpek, kadang aku ke Gedung Socited menyaksikan teater. Meski tak memiliki bakat seni dan tak berniat jadi seniman, aku cukup memerhatikan dunia pementasan. Tentunya dalam batas sebagai penikmat saja.
Kini, aku kembali singgah. Yup, benar saja. Aku menemukan gedung telah dipadati penikmat seni peran itu. Banyak mahasiswa, tak jarang berpasangan. Diantaranya, juga sempat kutemui sejumlah penulis sastra Kota Makassar. Ada juga wartawan. Entah, mereka meliput atau sama saja denganku, nonton gratis!
***
Lumayan, pementasan ini cukup mendapat apresiasi. Sangat jarang suasana begitu kutemui di gedung ini. Aku tahu, sejak dulu hanya lekat dengan kesunyian. Orang-orang disini, hanya serupa malam tanpa bintang. Mereka terus menggeliat dengan peran, namun hanya berakhir pada garis malam yang sepi. Artis tanpa penggemar. Tak sadar, wajah mereka hanya menampang lusuh, terus menggurat digerogoti tembok-tembok gedung tua peninggalan Belanda. Apakah karya yang kerontang, tak menggugah, ataukah zaman memang tak memihak. Entah, aku tak sepenuhnya memahami. Namun karya mereka tetap berusaha kunikmati sebagai pengganti sepotong malam yang tercecer.
***
Kini, aku terjebak pada malam. Lantas singgah di sebuah ruang tak berpihak. Nyamuk, angin Ac yang mengigit, dan beralas secarik kain gorden. Sedari dulu, kerap aku ke ruang ini. Memang selalu begitu. Kita dituntut hidup tak beralas. Namun, ketika itu begitu banyak simpony yang hadir bersama malam, meski hanya ditemani sebuah kipas angin butut. Aku pulas diiringi detak mesin ketik, gerutu mahasiswa membuat makalah, celoteh perlawanan dari bilik sebelah, alunan suara gitar, dan aroma kopi pekat.

Tidak ada komentar: